ST Burhanuddin: Konsep Penegakan Hukum Humanis Adalah Penegakan Hukum Modern dan Masa Depan
-Baca Juga
ST Burhanuddin: Konsep Penegakan Hukum Humanis Adalah Penegakan Hukum Modern dan Masa Depan
JAKARTA,pojokkirimapro.com.Mengangkat topik penegakan hukum humanis dengan tagline “Tajam ke Atas, Humanis ke Bawah”, suasana diskusi ringan antara Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Tim Media Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung sangat santai dan menyejukkan. Sebab sejatinya, bila berbicara mengenai penegakan hukum humanis, maka berbicara tentang kemanusiaan.
Kemanusiaan diatur sejak zaman Hindia Belanda yakni sejak bayi dalam
kandungan sudah mengenal hak untuk hidup dan waris, sebagaimana diuraikan dalam
Pasal 2 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie diatur dalam Staatblad
1847 No. 23. Selanjutnya dalam Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 sebagaimana pada Pasal
53, diatur juga mengenai hak hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan
taraf hidup, terlebih lagi diperkuat dalam konstitusi negara kita yakni dalam Undang-Undang Dasar RI 1945 Pasal 28A yaitu “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya”. Hal ini menunjukkan bagaimana
hak-hak kemanusiaan sebagai hak dasar manusia sangat dijamin dan dilindungi
oleh negara. Maka dari itu, sebelum berbicara hukum terlalu jauh, harus
memahami dahulu konteks kemanusiaannya. Dalam konteks kemasyarakatan dan
kemanusiaan, ada adagium yang sangat populer dalam penegakan hukum yaitu 'Salus
Populi Suprema Lex Esto' yakni keselamatan manusia adalah hukum tertinggi. Pandangan-pandangan
diataslah melahirkan bagaimana hukum tidak bisa dipisahkan dengan kemanusiaan
yang sering kita sebut sebagai penegakan hukum humanis.
Dalam falsafah hukum, hukum ada untuk manusia, bukan untuk
diputarbalikkan. Hal ini berarti penegakan hukum
dapat menjamin nilai-nilai yang sudah digali oleh pendiri bangsa yaitu Nilai
Ketuhanan, Nilai Kemanusiaan, Nilai Persatuan, Nilai Kedaulatan Rakyat, dan
Nilai Keadilan Sosial. Lalu seiring
berkembangnya waktu, adanya penambahan nilai yakni Nilai Kepastian Hukum dan
Nilai Kemanfaatan. Sistem nilai yang berubah dan berkembang ini membuat hukum tak boleh
kaku dan hanya mengejar satu nilai saja seperti Nilai Kepastian Hukum atau
Nilai Keadilan. Hukum harus mampu beradaptasi dengan
kebutuhan masyarakat yaitu nilai kemanusiaan yang disebut dengan humanistik.
Lebih jauh Jaksa Agung menyampaikan, adanya
mazhab hukum yang selama ini dipelajari dalam dunia perkuliahan seperti hukum progresif (digagas oleh Prof. Satjipto Rahardjo), karena hukum hidup dan beradaptasi dengan kebutuhan hukum masyarakat dan di masa mendatang. Hukum modern saat ini juga tidak terlepas dari nilai
kemanusiaan yang ada. Oleh karenanya, Jaksa Agung menuturkan penegakan hukum
humanis adalah penegakan hukum yang mampu menggali
rasa keadilan dalam masyarakat (living law). Meski demikian, hukum
positif tidak dapat ditinggalkan dan justru tetap sebagai penguatan menjamin kepastian serta menjadi bukti
hadirnya negara di tengah masyarakat karena memiliki perangkat, sarana,
prosedur (tata laksana), dan bersifat mengikat bahkan memiliki
sanksi.
Selanjutnya, Jaksa Agung selalu berpesan bahwa
kehadiran Jaksa tidak sekedar hanya sebagai pelaksana/cerobong undang-undang, namun Jaksa harus berani mengambil sikap sebagai
dinamisator dan katalisator. Penegakan hukum humanis harus beradaptasi dengan kebutuhan hukum saat ini, tidak pandang bulu, serta dapat diterima
oleh masyarakat. Maka untuk mendukung itu semua, perlu adanya program penegakan hukum yang berpihak pada masyarakat. Jaksa Agung
mengatakan program penegakan humanis yang sudah ada saat ini seperti penghentian
penuntutan melalui keadilan restoratif, pendirian Rumah Restorative Justice dan
Balai Rehabilitasi, Program Jaga Desa (Jaksa Garda Desa), serta Jaksa
Menjawab, harus diefektifkan dan dikembangkan pelaksanaannya di tengah
masyarakat. Jaksa Agung menekankan seorang Jaksa harus hadir dan memberi
manfaat, serta menjadi solusi di setiap permasalahan hukum masyarakat.
Adanya program penegakan hukum humanis tersebut menunjukkan bahwa
program-program dibuat dengan kajian untuk kepentingan
masyarakat yang nantinya bermanfaat dalam menciptakan
keharmonisan dan kedamaian. Apabila kesadaran hukum masyarakat telah
terbentuk, maka secara otomatis akan meringankan pekerjaan penegakan
hukum di masa mendatang. Bahkan di beberapa negara maju dan aman, lembaga
pemasyarakatannya dalam keadaan kosong yang menandakan bahwa penegakan hukum di
negara tersebut berjalan dengan baik. Sebaliknya, bila dilihat lembaga
pemasyarakatan dalam keadaan penuh, ini menunjukkan tingginya kasus tindak
pidana dan kriminalitas yang ditangani. Selain itu, keadaan lembaga
pemasyarakatan yang penuh menandakan bahwa penegakan hukum belum menimbulkan
efek jera dan memanusiakan manusia, serta negara
belum mampu memberikan keamanan dan kenyamanan bagi
warganya.
Harapan Jaksa Agung ST Burhanuddin sebagai penggagas penghentian
penuntutan dengan keadilan restoratif yang sudah mendapatkan legitimasi di
forum Internasional berupa efektivitas dan implementasi restorative justice
sebagai role model penghentian perkara di luar pengadilan, agar
kedepannya peraturan mengenai keadilan restoratif didorong menjadi
undang-undang. Sebab hal ini sangat penting dalam rangka penegakan hukum
humanis dan kita menjadi salah satu barometernya di dunia, sehingga kita
mendapatkan legitimasi secara formil dalam pelaksanaannya.
Diskusi ringan antara Jaksa Agung dengan Tim Media Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung ditutup dengan pesan Jaksa Agung yaitu bahwa tidak semua yang melakukan tindak pidana itu karena serakah dan jahat, namun bisa akibat faktor lingkungan dan hubungan sosial. Oleh karenanya, sudah menjadi kewajiban bersama untuk menciptakan lingkungan yang baik, sehat, dan bermartabat bagi kemanusiaan. (K.3.3.1).