DILEMA JAKSA DALAM PEMBERANTASAN PEREDARAN NARKOTIKA : SEBUAH CATATAN KECIL MENGENAI SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG (SEMA) NOMOR 3 TAHUN 2015 ~ Pojok Kiri Malang Probolinggo
RUNNING STORY :
Loading...

DILEMA JAKSA DALAM PEMBERANTASAN PEREDARAN NARKOTIKA : SEBUAH CATATAN KECIL MENGENAI SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG (SEMA) NOMOR 3 TAHUN 2015

-

Baca Juga

DILEMA JAKSA DALAM PEMBERANTASAN PEREDARAN NARKOTIKA : SEBUAH CATATAN KECIL MENGENAI SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG (SEMA) NOMOR 3 TAHUN 2015

Oleh: Erik Eko Bagus Mudigdho

Mahasiswa Magister Hukum Universitas Negeri Surabaya

 


BATU,pojokkirimapro.com.Setiap instrumen hukum diciptakan dengan tujuan mulia untuk menunjang tugas penegak hukum. Semangat inilah yang mendasari lahirnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 2015, yang disusun sebagai pedoman bagi hakim untuk menyeragamkan putusan. Namun, di balik niat luhur untuk memberi kepastian, SEMA ini justru dinilai melahirkan sejumlah persoalan mendasar.

Alih-alih mempermudah, SEMA ini justru menjadi tantangan baru bagi aparat penegak hukum lain, terutama Kejaksaan. Ambil contoh dalam penanganan kejahatan penyalahgunaan narkotika, yang hingga kini masih menjadi salah satu ancaman terbesar di Indonesia. Kejahatan ini memiliki daya rusak yang begitu luas sehingga penanggulangannya memerlukan langkah sistematis dan masif. Perang melawan kejahatan ini menuntut ketegasan tanpa kompromi dari Jaksa selaku penuntut umum. Ironisnya, senjata Jaksa dalam perang ini justru dilemahkan secara perlahan oleh SEMA Nomor 3 Tahun 2015.

Lantas, bagaimana SEMA ini melemahkan peran Jaksa? Jawabannya terletak pada kewenangan diskresi luar biasa yang diberikannya kepada hakim untuk menyimpangi ketentuan pidana minimal yang diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Nartotika. Dalihnya adalah jika terdakwa terbukti sebagai pengguna dengan barang bukti dalam "jumlah relatif kecil". Di sinilah letak persoalan yang fundamental, karena bagi para Jaksa, pidana minimal adalah tulang punggung dari strategi penuntutan. Ia bukan sekadar angka, melainkan representasi keseriusan negara bahwa kejahatan narkotika adalah kejahatan luar biasa yang menuntut efek jera maksimal.

Ketika Jaksa berdiri di muka sidang menuntut berdasarkan pidana minimal, ia sedang menjalankan amanat Undang-Undang. Namun, SEMA ini seolah menciptakan sebuah "jalan tikus" hukum, sebuah pintu keluar bagi hakim untuk tidak menapaki jalan tegas yang telah digariskan Undang-Undang. Akibatnya, kekuatan tuntutan Jaksa yang seharusnya kokoh karena berlandaskan hukum tertinggi, menjadi goyah.

Persoalan ini diperkeruh oleh frasa "jumlah relatif kecil" yang menjadi syarat utama diskresi. Frasa ini sangat multitafsir. Apa ukurannya? Apakah satu gram sabu itu kecil? Bagaimana jika itu milik seorang kurir dalam jaringan besar? Atau justru peengedar yang menjual dalam jumlah sekali pakai? SEMA tidak memberikan batasan yang jelas dan menyerahkan segalanya pada subjektivitas majelis hakim. Frasa multitafsir ini sejatinya bertentangan dengan hakikat SEMA itu sendiri. Sebagai peraturan pelaksana, SEMA semestinya memberikan penjelasan yang lebih rinci dan terang, bukan justru menciptakan wilayah abu-abu baru yang tidak diatur dalam Undang-Undang.

Konsekuensi dari multitafsir ini adalah ketidakpastian hukum dan potensi disparitas putusan yang menganga. Tanpa meragukan integritas hakim, SEMA ini secara objektif membuka celah bagi lahirnya putusan yang berbeda untuk perkara dengan fakta hukum yang relatif sama. Di pengadilan A, barang bukti sepersekian gram bisa berbuah vonis ringan berkat SEMA, sementara di pengadilan B, kasus serupa bisa diganjar pidana minimal sesuai Undang-Undang. Jaksa pun dipaksa gamang, seolah harus meramal putusan hakim ketimbang menegakkan norma hukum yang pasti.

Pada akhirnya, yang tergerus adalah efek jera itu sendiri. SEMA ini, secara tidak langsung, mengirimkan sinyal yang salah kepada publik: bahwa ada toleransi dan "diskon hukuman" bagi pelaku penyalahguna narkotika skala kecil. Semangat perang total terhadap narkoba yang didengungkan negara melalui Undang-Undang, menjadi gembos di ruang-ruang sidang. Jaksa yang seharusnya menjadi wajah garang negara dalam perang ini, kini dilemahkan senjatanya bukan oleh revisi Undang-Undang, melainkan oleh selembar surat edaran.

Inilah dilema yang dihadapi para penuntut umum. Mereka terjebak dalam posisi sulit: apakah harus tetap teguh pada Undang-Undang dan berisiko tuntutannya dianggap kaku oleh hakim, ataukah harus berkompromi dengan "arahan" SEMA dan secara sadar ikut melemahkan mandat yang diembannya? Kedua pilihan tersebut sama-sama berisiko mencederai rasa keadilan dan merusak marwah institusi Kejaksaan.

Catatan kecil ini bukanlah penolakan terhadap sisi kemanusiaan dalam hukum. Namun, dalam perang melawan narkotika, negara tidak boleh mengirimkan sinyal yang simpang siur. Jaksa, sebagai ujung tombak, memerlukan kepastian dan senjata hukum yang tajam bersumber dari Undang-Undang, bukan pedoman yang justru menumpulkannya. Sebab jika pilar penuntutan dilemahkan, jangan heran jika perang melawan narkotika ini terasa semakin berat dan panjang untuk dimenangkan.(**).

 

Mungkin Juga Menarik × +
PERISTIWA
HUKUM
WISATA

 
PT POJOK KIRI MEDIA © 2007 - 2018 Pojokkiri.co All right reserved Alamat Redaksi : Jl Gayungsari Timur No.35 Surabaya,Jawa Timur
Atas
Night Mode